Senin, 17 Desember 2012

Laporan 6_Rista Dwi Septiani_konflik dalam masyarakat

Konflik Antara Suku Dayak dan Suku Madura

Rista Dwi Septiani (1112051100011)

Jurnalistik 1A

 

I. Latar Belakang

            Menurut kamus besar bahasa Indonesia konflik adalah percekcokan, perselisihan, pertentangan. Konflik berasal dari kata kerja bahasa latin yaitu configure yang berarti saling memukul. Secara Sosiologis konflik diartikan sebagai proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) di mana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya. Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkit nya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan. Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan kerja sama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing – masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri – sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain. Dan menurut Robbin (1996), keberadaan konflik dalam organisasi ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari adanya konflik di dalam organisasi maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah ada konflik maka konflik tersebut telah menjadi kenyataan.

            Ada banyak faktor penyebab konflik, diantaranya adalah perbedaan individu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan, perbedaan latar belakang  kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda, perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok, dan perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.

            Konflik antar etnik dapat dikatakan sebagai suatu bentuk pertentangan alamiah yang dihasilkan oleh individu atau kelompok yang berbeda etnik, karena diantara mereka memiliki perbedaan dalam sikap, kepercayaan, nilai, atau kebutuhan (Liliweri,2005:146). Konflik adalah masalah yang lazim yang terjadi di lingkungan masyarakat. Banyaknya perbedaan menjadi alasan yang mendasar. Begitupun yang terjadi ketika perang antar suku yang terjadi di Indonesia. Perang antar suku yang terjadi antara Suku Dayak dan Suku Madura memang telah lama berlalu, namun dalam laporan kali ini akan saya jadikan sebagai objek penelitian karena bagi saya konflik ini sangat menarik untuk dibahas.

 

II. Pertanyaan Pokok Penelitian

           Konflik apa yang memicu Suku Dayak dan Suku Madura bersitegang?

 

III. Metode Penelitian

            Metode penelitian yang saya gunakan kali ini adalah metode kualitatif. Dengan menggunakan teknik studi pustaka dengan data-data yang telah ada. Yang dilakukan pada tanggal 15 Desember 2012 di Ciledug, Tangerang.

 

IV. Gambaran Subyek Penelitian

Dayak atau Daya adalah suku-suku asli yang mendiami Pulau Kalimantan, yang memiliki budaya terestrial (daratan, bukan budaya maritim). Sebutan ini adalah sebutan umum karena orang Dayak terdiri dari beragam budaya dan bahasa. Dalam pengertian sederhana, Dayak hanya mengacu kepada suku Ngaju (rumpun Ot Danum) di Kalimantan Tengah, sedangkan arti yang luas Suku Dayak terdiri atas 6 rumpun suku. Suku Bukit di Kalimantan Selatan dan Rumpun Iban di perkirakan merupakan suku Dayak yang menyeberang dari pulau Sumatera. Sedangkan suku Maloh di Kalimantan Barat perkirakan merupakan suku Dayak yang datang dari pulau Sulawesi. Penduduk Madagaskar menggunakan bahasa yang mirip dengan bahasa Maanyan, salah satu bahasa Dayak (Rumpun Barito). Dayak merupakan sebutan bagi penduduk asli pulau Kalimantan. Kelompok Suku Dayak, terbagi lagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub (menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub Suku Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas. Masa lalu masyarakat yang kini disebut suku Dayak, mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman mereka. Etnis Dayak Kalimantan menurut  J.U. Lontaan, 1975, Suku Dayak menyebar di seluruh Kalimantan. Kuatnya arus urbanisasi yang membawa pengaruh dari luar,seperti melayu menyebabkan mereka menyingkir semakin jauh ke pedalaman dan perbukitan di seluruh daerah Kalimantan.

Suku Madura merupakan kelompok suku terbesar ke-3 Indonesia. jumlahnya kira-kira 12 juta atau 7% dari total jumlah penduduk Indonesia. kira-kira ada 4 juta orang tinggal di P. Madura (sebelum, timur laut lepas pantai pulau Jawa) dan 9 juta lainnya tinggal terutama di pulau Jawa dan bagian lain Indonesia. Di samping bahasa Indonesia, orang Madura mempunyai bahasa mereka sendiri. Orang Madura memiliki sifat dab gaya hidup yang keras, kemungkinan besar terkait dengan kondisi alamnya yang kurang ramah. Mereka juga sering menyelesaikan perselisihan dengan carok (menghujam perut lawan dengan pisau arit). Cocok yang fatal bisa menyebabkan permusuhan berdarah antar keluarga yang dapat berlangsung turun temurun sampai beberapa generasi. Namun kerasnya tempramen orang Madura itu bisa berarti positif bila dilihat dari etos kerja mereka. Mereka kebanyakan orang-orang yang suka bekerja keras dan pantang menyerah, bahkan para wanitanya pun tidak segan-segan ikut bekerja keras untuk menunjang kebutuhan hidup. Orang-orang Madura penganut Islam Sunni Ortodoks. Kepala keluarga yang sudah berhasil melaksanakan kewajiban Rukun Islam ibadah haji, akan memperoleh kedudukan terhormat di mata masyarakat. Namun demikian, ada banyak di antara mereka yang mencari perlindungan kepada kekuatan gaib yang mengontrol roh yang jahat dan yang baik.


V. Analisis

            Yohanes menyebutkan bahwa konflik kekerasan antara Suku Dayak dan Suku Madura di Kalimantan Barat selama ini memang tidak terlepas dari adanya tradisi kekerasan dalam Suku Dayak, namun sebenarnya bukan tradisi ini yang menjadi penyebab utama konflik melainkan lebih sebagai akibat dari adanya pemanfaatan oleh pihak-pihak lain yang menginginkan kekerasan terjadi di Kalimantan Barat. Selain itu, oleh mereka sendiri kekerasan tidak pernah dikaitkan dengan isu-isu keagamaan. Di sisi Suku Madura, perilaku dan tindakan orang Madura yang tinggal di Kalimantan Barat, baik yang sudah lama maupun masih baru tidak banyak berbeda dengan perilaku dan tindakan mereka di tempat asalnya di pulau Madura. Orang Madura biasanya akan merespon amarah atau kekerasan berupa tindakan resistensi yang cenderung berupa kekerasan pula. Karena itu, kecenderungan kekerasan ini pulalah yang mudah di picu untuk menimbulkan konflik dengan suku lain.

Terjadi dua kali kerusuhan berskala besar antara Suku Dayak dan Suku Madura, yaitu peristiwa Sampit (2001), dan Senggau Ledo (1996). Kedua kerusuhan ini merembet ke hampir semua wilayah Kalimantan dan berakhir dengan pengusiran dan pengunggsian ribuan warga Madura, dengan jumlah korban hingga mencapai 500-an orang. Perang antar suku ini menjadi masalah sosial yang menasional. Ada empat hal yang menjadi penyebab terjadinya perang suku antara Suku Dayak dan Suku Madura, yaitu :

       1. Perbedaan antara Dayak-Madura

           Perbedaan budaya jelas menjadi alasan mendasar ketika perang antar suku terjadi. Masalahnya sangat sederhana, tetapi ketika sudah berkaitan dengan kebudayaan, maka hal tersebut juga berkaitan dengan kebiasaan.

           Misalnya permasalahan senjata tajam. Bagi Suku Dayak, senjata tajam sangat dilarang keras dibawa ke tempat umum. Orang yang membawa senjata tajam ke rumah orang lain, walaupun bermaksud bertamu, dianggap sebagai ancaman atau ajakan berduel. Lain halnya dengan budaya Suku Madura yang biasa menyelipkan senjata tajam ke mana-mana dan dianggap biasa di tanah kelahiran nya.

           Bagi Suku Dayak, senjata tajam bukan untuk menciderai orang. Bila hal ini terjadi, pelakunya harus dikenai hukuman adat pati nyawa (bila korban cidera) dan hukuman adat pemampul darah (bila korban tewas). Namun, bila dilakukan berulang kali, masalahnya berubah menjadi masalah adat karena dianggap sebagai pelecehan terhadap adat sehingga simbol adat "mangkok merah" (Dayak Kenayan) atau "Bungai jarau" (Dayak Iban) akan segera berlaku. Dan itulah yang terjadi di cerita perang antar Suku Dayak-Madura.

2. Perilaku yang tidak menyenangkan

             Bagi Suku Dayak, mencuri barang orang lain dalam jumlah besar adalah tabu karena menurut mereka barang dan pemiliknya telah menyatu, ibarat jiwa dan badan. Bila dilanggar, pemilik barang akan sakit. Bahkan, bisa meninggal. Sementara orang Madura sering kali terlibat pencurian dengan korbannya dari Suku Dayak. Pencurian yang dilakukan inilah yang menjadi pemicu pecahnya perang antara Suku Dayak dan Suku Madura.

           3. Pinjam meminjam tanah

         Adat Suku Dayak memperbolehkan pinjam meminjam tanah tanpa pamrih. Hanya dengan kepercayaan lisan, orang Madura diperbolehkan menggarap tanah orang Dayak. Namun, persoalan timbul saat tanah tersebut diminta kembali. Seringkali orang Madura menolak mengembalikan tanah pinjaman tersebut dengan alasan merekalah yang telah menggarap selam ini.

         Dalam hukum adat Dayak, hal ini disebut balang semaya (ingkar janji) yang harus dibalas dengan kekerasan. Perang antar Suku Dayak dan Suku Madura pun tidak dapat dihindarkan lagi.

      4. Ikrar perdamaian yang dilanggar

         Dalam tradisi masyarakat Dayak, ikrar perdamaian harus bersifat abadi. Pelanggaran akan dianggap sebagai pelecehan adat sekaligus pernyataan permusuhan. Sementara orang Madura telah beberapa kali melanggar ikrar perdamaian. Dan lagi-lagi hal tersebutlah yang memicu perang antar suku tersebut.

 

VI. Daftar Pustaka

http://zeincom.wordpress.com/2011/10/23/pkjsk/

http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik

http://nurulita-15211414.blogspot.com/2012/01/konflik-antara-suku-dayak-dan-madura.html

http://irafirmansyah.wordpress.com/2008/11/25/berbagai-penelitian-tentang-konflik-dayak-madura/

http://www.anneahira.com/perang-antar-suku.htm

http://www.sabda.org/misi/profilo_isi.php?id=41

http://wawan-junaidi.blogspot.com/2011/01/suku-dayak.html

Muhammad alief mumtaz nadiby _ JNR1B _ Kepemimpina _ laporan ke 5

Judul Penelitian           : Kepemimpinan

Peneliti                        : Muhamad Alief Mumtaz Nadiby (1112051100056)

 

I.                   LATAR BELAKANG 

 Kepemimpinan adalah proses memengaruhi atau memberi contoh oleh pemimpin kepada pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Cara alamiah mempelajari kepemimpinan adalah "melakukannya dalam kerja" dengan praktik seperti pemagangan pada seorang seniman ahli, pengrajin, atau praktisi. Dalam hubungan ini sang ahli diharapkan sebagai bagian dari peranya memberikan pengajaran/instruksi.

Kebanyakan orang masih cenderung mengatakan bahwa pemimipin yang efektif mempunyai sifat atau ciri-ciri tertentu yang sangat penting misalnya, kharisma, pandangan ke depan, daya persuasi, dan intensitas. Dan memang, apabila kita berpikir tentang pemimpin yang heroik seperti Napoleon, Washington, Lincoln, Churcill, Sukarno, Jenderal Sudirman, dan sebagainya kita harus mengakui bahwa sifat-sifat seperti itu melekat pada diri mereka dan telah mereka manfaatkan untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan.

Disini saya akan mengemukakan tentang kepala desa dan aturan-aturan yang berlaku bagi masyarakatnya dan perangkat-perangkat desa.

 

 

 

II.                PERTANYAAN POKOK

 

1.      Bagaimana cara kepemimpinan anda terhadap masyarakat dan kepada anggota di lembaga anda ?

 

 

III.             METODE PENELITIAN

 

Metode yang digunakan : Kualitatif. Yaitu metode sosiologi yang prosesnya mengambil data secara langsung, dimana peneliti sebagai instrument. Metode ini dilakukan dengan dasar mencari data-data yang kuat lalu dilakukan wawancara terhadap narasumber.

Wawancara ini dilakukan pada :

Lokasi                        : Kediaman Bapak Hj. Dzein muhali

             (kp.kramat rt 12/03 sumurbandung)

Waktu                         : Pukul 17.00 WIB

  



IV.             GAMBARAN  SUBJEK  DAN OBJEK

 

Bapak Hj. Dzein muhali adalah mantan lurah di desa sumurbandung pada masa jabatan tahun 1995-2001 (6 tahun) . beliau adalah pensiunan di departemen agama (depag) dan sekarang beliau sosok pemuka agama di desa sumur bandung sekaligus penghulu karena beliau lulusan sarjana hukum islam di IAIN serang. Pengabdiaanya kepada masyarakat pada saat menjabat tak hilang dari ingatan masyarakat bahwa beliau adalah sosok pemimpin yang kharismatik dan rendah hati.

 


V.                ANALISIS

 

Max Weber, seorang sosiolog, adalah ilmuan pertama yang membahas kepemimpinan karismatik. Lebih dari seabad yang lalu, ia mendefinisikan karisma (yang berasal dari bahasa Yunani yang berarti "anugerah") sebagai "suatu sifat tertentu dari seseorang, yang membedakan mereka dari orang kebanyakan dan biasanya dipandang sebagai kemampuan atau kualitas supernatural, manusia super, atau paling tidak daya-daya istimewa.

Dari pernyataan max weber diatas, pantas saja bak Hj. Dzein muhali menjadi pemimpin di masanya karena selain kharismatik beliau pun juga pemimpin yang berpendidikan dan menjadi pemimpin yang serba bisa atau komplit dalam kepribadiannya yang dipandang oleh masyarakatnya.

 

Beliau mempunyai wewenang antara lain:

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

·         http://id.wikipedia.org/wiki/Pemimpin

·         Narasumber

 

 

M.Badruzzaman_Laporan6_Konflik Sosial: Kerusuhan Banjarmasin

KONFLIK SOSIAL KASUS KERUSUHAN DI BANJARMASIN 1997

Muhammad Badruzzaman (1112051100015)

Jurnalistik 1A

       I.            Latar Belakang

Menurut Lewis A. Coser Konflik merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya.

Ada beberapa asumsi dasar dari teori konflik. Teori konflik merupakan antitesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan. Kemudian teori konflik juga melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan.

Karena konflik-konflik yang menimbulkan kerusuhan tersebut menyebar hamper di seluruh Indonesia, dirasakan perlu untuk menghimpun peristiwa kerusuhan tersebut. Di samping sebagai informasi bagi masukkan kebijakan yang  berkaitan dengan kerukunan hidup antar umat beragama, juga tidak terlepas dari fungsi Balitbang Agama sebagai salah satu sumber informasi kehidupan beragama.

    II.            Pertanyaan Pokok Penelitian

1.      Bagaimana latar belakang munculnya kerusuhan di Banjarmasin dan Apa pengaruhnya terhadap Masyarakat Banjarmasin?

 III.            Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik gathering data (pengumpulan data) dengan mengunakan buku. Serta bahan media massa, hasil-hasil kajian tentang kerusuhan-kerusuhan sosial masyarakat yang telah dilakukan oleh berbagai pihak.

 IV.            Gambaran Objek Penelitian

Banjarmasin adalah salah satu kota sekaligus merupakan ibu kota dari provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia. Kota yang cukup padat ini termasuk salah satu kota besar di Indonesia, walau luasnya yang terkecil di Kalimantan, yakni luasnya lebih kecil daripada Jakarta Barat. Kota yang dijuluki kota seribu sungai ini merupakan sebuah kota delta atau kota kepulauan sebab terdiri dari sedikitnya 25 buah pulau kecil (delta) yang merupakan bagian-bagian kota yang dipisahkan oleh sungai-sungai diantaranya pulau Tatas, pulau Kelayan, pulau Rantauan Keliling, pulau Insan dan lain-lain. Kota Banjarmasin ditetapkan sebagai salah satu kota pusaka. Sejak zaman dulu hingga sekarang Banjarmasin masih menjadi kota niaga dan bandar pelabuhan terpenting di pulau Kalimantan. Pelabuhan kota Banjarmasin adalah pelabuhan Trisakti yang terletak 12,5 mil dari muara sungai Barito. Pelabuhan Trisakti memiliki Terminal Petikemas Banjarmasin (TPKB) yang termasuk 10 besar terminal petikemas di Indonesia.

Kota Banjarmasin juga terkenal dengan 'pasar terapung' yang berada di muara sungai Barito dan merupakan pasar tradisional yang menjadi salah satu tujuan wisata yang dibanggakan. Aktifitas perdagangan di pasar ini di mulai sebelum subuh sampai kira-kira jam 08.00 wita. Dahulu jenis dagangan berupa hasil pertanian para petani dari berbagai sungai dan anak sungai yang bermuara di sungai Barito. Dalam perkembangan, jenis barang dagangan tifak hanya hasil pertanian. Tetapi juga ada warung makan atau kedai, bahan bakar, meubel, pakaian bahkan barang elektronik ada.

Luas kota Banjarmasin 72,00 km² berada pada ketinggian rata-rata 0,16meter dibawah permukaan laut dengan kondisi daerah berpaya-paya dan relative datar, pada waktu air pasang hamper seluruh wilayah digenangi air. Jumlah penduduk Banjarmasin sebanyak 532.556 orang yang terdiri dari 264.046 laki-laki dan 268.510 perempuan. Kota Banjarmasin sebagai ibukota Propinsi Kalimantan Selatan merupakan pusat pemerintahan pusat pendidikan dan pusat ekonomi.

    V.            Analisis

Masyarakat Banjarmasin dikenal sebagai masyarakat agamis yang senantiasa mengikutsertakan simbol-simbol agama dalam realitas sosial dan legitimasi tindakan. Hal ini dapat dilihat pada masa penjajahan Belanda dimana orang Banjar mengunakan emosi dan symbol agama dalam merespon situasi penjajahan. Orang Belanda dianggap kafir dan setiap yang berbau Belanda adalah haram dan menjijikan. Setelah 50 tahun lebih merdeka, emosi dan symbol agama masih eksis dan kental. Ini pula yang tercermin dalam peristiwa kerusuhan pada hari jum'at tanggal 23 Mei 1997 dan bertepatan dengan putaran terkhir masa kampanye Golkar. Masa kampanya Golkar mulai bergerak sebelum sholat jum'at. Pada jam 12.00 ketika umat islam melaksanakan sholat jum'at, massa Golkar yang sebagian anak-anak remaja dan pemuda berputar-putar berkeliling kota dengan sepeda motor yang suara knalpotnya meraung-raung memekakan telinga. Tentu saja ini sangat mengganggu orang-orang yang sedang melaksanakan sholat jum'at. Ketika rombongan melewati Masjid An Nur di jalan Pangeran Samudra (daerah basis PPP), kemarahan jemaah tidak terbendung lagi.

Pada jam 13.00 waktu setempat, massa Golkar sudah terkonsentrasi di lapangan Kamboja, karena pada jam 13.30 akan di selenggarakan panggung hiburan yang diisi oleh artis-artis ibukota. Acara ini dihadiri oleh tokoh-tokoh Banjar yang di Jakarta seperti Saadillah Muryid (Menteri Sekertaris Negara) dan ketua MUI Kyai Haji Hasan Basri yang direncanakan akan membaca doa. Pada kira-kira jam 13.00 tiba-tiba dating massa yang cukup banyak jumlahnya dengan menggunakan atribut PPP. Mereka menyerbu massa Golkar, membakar banyak sepeda motor dan menghancurkan mobil-mobil yang di parker di lapangan Kamboja. Dalam peristiwa ini, apa saja yang memakai atribut Golkar menjadi sasaran, bahkan massa baik perempuan maupun laki-laki dicopot kaosnya yang berlambang Golkar. Belum puas menghancurkan massa Golkar, mereka terus bergerak ke segal arah dan melakukan aksi yang yang brutal, merusak dan membakar apa saja yang mereka jumpai.

Pada jam 14.00 massa terus bergerak melewati jalan –jalan protocol massa terus bergrak melewati jalan-jalan protocol. Mereka merusak dan menghancurkan kanto Bank, Hotel, took-toko atau apa saja bangunan yang ada di jalan yang mereka lewati. Toko-toko di daerah pasar baru, pasar sudi mampir dan pasar antasari sudah ditutup aparat, namun massa nekad menghancurkan took-toko tersebut. Barang –barang yang ada di toko di jarah oleh massa. Sebuah rumah gereja HKBP di jalan P. Samudra yang didirikan pada tahun 1963 dan terletak dekat kantor Banjarmasin Post di bakar massa. Pada sore harinya massa bergerak dengan sasaran pusat-pusat pertokoan seperti Mitra Plaza, Junjung buih Plaza, dan beberapa toko swalayan lainnya, tidak hanya dijarah barangnya, tetapi juga dibakar. Korban manusia 302 – 320 tewas dan banyak menderita luka parah . sebagai gambaran, di Mitra Plaza ditemukan 121 orang tewas terbakar, dan 2 orang di swalayan Sarikarya, di tambah beberapa orang lagi do pertokoan yang dibakar pula.

Korban yang meninggal akhirnya dikuburkan secara massal pada hari sabtu, 24 Januari 1997 jam 17.00 wita di TPU milik pemerintah daerah yang terletak di jalan Bumu Slamat, Kec Landasan Uli, kab. Banjar. Mereka dimakamkan secara islam dan adat dalam yaitu dimandikan, dikafani, disholatkan dan secara adat dilakukan tahlil selama 3 hari. Selain korban yang meninggal, ada pula korban yang belum diremukan sebanyak 197 orang dan dinyatakan hilang sebanyak 199 orang. Beberapa hari kemudian korban yang dinyatakan hilang ada beberapa yang ditemukan, tetapi ada pula yang sampai sekarang tidak di ketahui nasibnya lagi.

Pda hari sabtu Nampak beberapa toko, perkantoran dan rumah penduduk memeasang sajadah atau bendera hijau sebagai identitas bahwa mereka islam, sehingga terhindar dari sasaran massa, karena masih ada kekhawatiran masyarakat bahwa peristiwa tersebut akan berlanjut. Seperti di kantor Banjarmasin Post yang terletak bangunan-bangunan di dekatnya sudah banyak dibakar seperti gereja HKBP, hotel, toko. Melihat sekelilingnya seperti itu, beberapa karyawan berjaga-jaga di depan kantornya memasang bendera hijau. Ternyata kantor tersebut selamat dari pembakaran di samping memang aparat keamanan sudah mulai berdatangan di lokasi itu. Korban materi antara lain berupa ratusan rumah, gedung dan bangunan seperti gedung PLN cabang Banjarmasin, Kantor Kanwil Depsos Kalsel, Kantor PDAM, Kantor Pegadain, BDN, BRI, Bank Lippo, Bank Danamon, Panti Wredha Mulia Sejahtera, 130 kompleks sasan santi di jalan pramuka, gereja HKBP, sekolah SD, SMP, SMU, beberapa hotel besar seperti Hotel Barito dan Hotel Arum. Kendaraan bermotor tercatat sekurang-kurangnya 21 mobil dan 60 sepeda motor dibakar, sedangkan 21 mobil dan 4 motor hancur dirusak massa.

Setelah suasana kembali tenang, pada hari selasa 27 Mei 1997 sitemukan selebaran gelap yang isinya sangat berbahaya. Versi pertama berisis imbauan untuk tidak memberi kan simpatinya kepada salah satu OPP dan menuduh OPP tersebut dipimpin oleh orang yang tidak pantas, sedangkan versi kedua yang menggunakan alamat suatu kota di luar Kalimantan, berisi ajakan pada seluruh masyrakat untuk saling bermusuhan, selebaran ini membeberkan keburukan agama-agama tertentu. Setelah selebaran gelap ini sudah bisa diatasi oleh aparat dan pemuda sehingga tidak memancing emosi masyarakat.

Dalam menanggapi terjadinya maslah tersebut, Baharudin Lopa menyatakan bahwa kerusuhan sosial merupakan akibat dari eskalasi kegiatan kampanye Pemilu 1997 yang tidak dapat dikendalikan oleh pimpinan OPP. Berbagai perasaan permusuhan antar massa pengikut OPP telah berkembang melanggar batas toleransi.  

Daftar Pustaka

·         Buku: Konflik Sosial Bernuansa Agama Di Indonesia, Diterbitkan Oleh : Departemen Agama RI, Badan Litbang Agama Dan Diklat Keagamaan, Puslitbang Kehidupan Beragama, Bagian, Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama : Jakarta, 2003

·         http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_konflik

·         http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Banjarmasin

Arie Permana_Lap6_PengusuranPedagangStasiunKA

Pertentangan sosial : Studi kasus penggusuran pedagang stasiun
Nama              : Arie Permana (1112051100012)
Jurusan          : Jurnalistik 1A
 
1.      Latar belakang
Masyarakat majemuk adalah kondisi alamiah yang eksis dalam setiap konteks wilayah negara bangsa di dunia walaupun tidak setiap negara bangsa memiliki kemajemukan, dan tingkat kemajemukan yang berbeda. Masyarakat majemuk disusun oleh perbedaan-perbedaan identitas sosial dan berbagai kelompok sosial yang mendefinisikan diri secara unik dan berbeda dari kelompok lain. Hal penting yang muncul dalam pemikiran sosiologis terhadap adanya masyarakat majemuk adalah konsekuensi-konsekuensi terhadap beberapa hal penting kehidupan sosial. Secara umum dari semua konsekuensi tersebut, konsekuensi masyarakat majemuk adalah konflik sosial.
Sebelum dan setelah berdirinya negara modern Indonesia, masyarakat majemuk Indonesia tidak pernah kosong dari peristiwa-peristiwa konflik, baik konflik kekuasaan, konflik antarkelompok kepentingan, dan kelompok identitas etnis keagamaan. Sebut saja konflik etnis keagamaan di Ambon Maluku pada tahun 1999-2003 dan Poso pada tahun 2000-an, konflik antar-etnis di Papua, dan konflik politik pada berbagai pilkada di tanah air. Tidak ketinggalan, konflik kepentingan pada penggusuran puluhan pedagang stasuin KA di Jabotabek belum lama ini.
 
2.      Pertanyaan pokok
-          Kepentingan apakah yang melatarbelakangi penggusuran pedagang ini ?
 
3.      Metode penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, guna mendapatkan informasi secara mendalam tentang penggusuran pedagang ini.
Waktu              : Sabtu & Minggu
Pukul                : 09.00-10.00 WIB
Tempat             : Kantor KS Stasiun Depok Lama & Kp. Belimbing sawah RT 05/03 No.16, Depok.
 
4.      Gambaran tokoh
Penulis mewawacarai dua orang narasumber dalam penelitian kali ini. Salah satu perwakilan dari pihak yang terlibat konflik ini yaitu kepala stasiun KA Depok lama yang baru bernama Pak Dwi serta dari pihak yang lain ada Pak Kemi selaku perwakilan pedagang stasiun.
 
5.      Analisis
Belum lama ini di media televisi tersiar kabar bahwa para pedagang di stasiun-stasiun di daerah Jabodetabek digusur dari tempat mereka mencari nafkah. Terlebih, aksi ricuh pun mewarnai aksi penggusuran pedagang yang dilakukan oleh pihak PT KAI tersebut, seperti saat penggusuran di stasiun Depok Baru. Belum lagi aksi demo para mahasiswa Universitas Indonesia yang menolak penggusuran pedagang di stasiun UI. Sementara, untuk saat ini para pedagang di 3 stasiun KA saja yang baru berhasil digusur.
Stasiun KA Depok Lama pun tak luput dari kegiatan tersebut. Belakangan, diketahui para pedagang yang berjualan di atas stasiun saat ini dilarang melakukan kegiatan jual beli yang sudah biasa mereka lakukan. Menurut penuturan kepala stasiun KA Depok lama yaitu Pak Dwi, penggusuran yang berlaku di setiap stasiun tersebut dilakukan untuk memberikan kenyamanan pelayanan bagi pengguna kereta api. Menurut beliau para pedagang tersebut sangat menggangu para penumpang KA yang sedang menunggu kereta karena para pedagang tersebut membuka lapak di dekat tempat duduk penumpang.
Selain hal tersebut, beliau menambahkan bahwa dengan adanya pedagang tersebut, stasiun KA jadi terlihat kumuh dan tidak indah. Karena jumlah pengguna kereta api semakin banyak setiap harinya maka perlu adanya peningkatan pelayanan kepada publik, salah satunya dengan penggusuran para pedagang ini.
Lain hal dengan Pak Dwi, seorang pedagang bernama Pak Kemi manjelaskan bahwa, penggusuran pedagang tersebut adalah hal yang tidak adil. Karena menurut beliau, kalau para pedagang di lingkungan stasiun digusur, seharusnya toko waralaba yang berdiri di setiap stasiun pun juga harus ikut digusur. Tetapi untuk saat ini, toko waralaba masih tetap berdiri di setiap stasiun yang sudah bersih dari pedagang. Hal ini menyebabkan kecemburuan sosial, yang berdampak pada persepsi bahwa penggusuran para pedagang tersebut akibat kepentingan ekonomi kapitalis toko waralaba tersebut.
Jika dianggap menggangu para penumpang, lain hal dengan pandangan para pedagang. Pak Kemi beranggapan bahwa para pedagang sangatlah bermanfaat bagi para penumpang. Contohnya, kalau ada panumpang yang pulang kerja tidak sempat belanja, jadi lebih praktis mencari barang kebutuhan di para pedagang stasiun setelah turun dari kereta. Karena hampir setiap barang ada di pedagang stasiun, sebut saja, aksesoris selular, makanan dan minuman, kaset musik dan video, parfum, pakaian, dan lain sebagainya.
Pak Kemi juga menambahkan kalupun tidak boleh berjualan di lingkungan stasiun, beliau meminta pengaturan para pedagang tersebut dengan cara damai bukan dengan cara premanisme yang sudah terlanjur terjadi di tiga stasiun KA. Jadi, para pedagang bisa tetap berjualan dan kegiatan toko waralaba tetap berjalan sehingga terjadi kestabilan sosial bukan mementingkan kepentingan kapitalis yang bisa berdampak pada kerusuhan. Beliau menambahkan lagi, dengan adanya para pedagang di stasiun, tindak kejahatan dan tawuran pelajar yang kerap kali beraksi di kereta dan stasiun dapat dikurangi.
 
6.      Daftar pustaka
Bagong, Suyanto J. Dwi Narwoko. 2004. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta : Kencana Media Grup

Cari Blog Ini